Iklan

Follow us

DIAGNOSA PATOGENITAS TERHADAP POLITIK IDENTITAS

Timur Pos
Kamis, 01 Desember 2022, 09:56 WIB Last Updated 2022-12-01T01:56:53Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini


MANADO - Bahasa "diagnosa" kerap di gunakan dalam istilah medis untuk melakukan "check up" atau pemeriksaan mendalam terhadap gejala penyakit tertentu. Istilah "Patogenitas" adalah istilah medis tentang kemampuan bakteri dalam memicu penyakit. Kedua istilah medis di atas sengaja saya sandingkan dengan kedua istilah politik identitas. Tidak bermaksud latah, tapi sudah saatnya kita melek mencermati fenomena dari dinamika politik identitas di bangsa ini.


Dalam konteks politik praktis, realitas politik identitas di bangsa ini sebenarnya bukanlah "tujuan mutlak" tapi sekedar "alat politik temporer". Sebenarnya, praktek politik identitas ini hanya seperti "alat gertakan politik" dari para sutradara politik. Tujuan utamanya adalah untuk memicu polarisasi agar tercipta sekat konstituen yang pakem. Dengan harapan memicu loyalitas dan militansi konstituen berdasarkan sentimen identitas. Dengan adanya politik identitas juga menjadi perekat dalam membangun basis koalisi politik


Pola politik identitas ini akan sangat tajam dalam provokasi dan agitasi dalam sebuah momentum politik. Tapi, drama ini akan segera berakhir ketika momentum politik berubah karena komoditi kepentingan politik yang ikut berubah. Drama-drama penuh kemunafikan ini sering menyajikan "politik cuci tangan" yang menginjak-injak solidaritas dalam pluralitas. 


Meskipun, praktek politik identitas sifatnya temporer, tapi kita wajib melakukan "diagnosa kritis" terhadap "feedback" dari politik identitas di negara majemuk ini. Mengapa demikian? Berdasarkan survey yang di lakukan oleh Program For International Student Assesment (PISA) dari Organization For Economic Co-operation And Development, dari 70 negara responden untuk kajian angka literasi, Indonesia berada pada peringkat 62.


Rendahnya angka literasi berdampak pada lambannya nalar kritis dan sehat memilah antara hoax, hate speech dan fakta obyektif. Data riset lainnya menunjukan bahwa durasi membaca per hari rata-rata dari orang Indonesia adalah 30-59 menit per hari. Itu artinya kurang dari 1 jam. Masyarakat pada negara-negara berkembang rata-rata menghabiskan durasi membaca 6-8 jam per hari. Standard yang di berlakukan oleh UNESCO adalah 4-6 jam per hari. Rendahnya minat baca adalah indikasi betapa rendahnya kultur literasi.


Kondisi kian ironis, bukan hanya angka literasi yang minim dan durasi membaca per hari yang minim, data dari jumlah pengguna internet di Indonesia tembus 171,17 jiwa atau sekitar 64,8% dari total penduduk Indonesia 264 juta jiwa (Data APPJJI, 2019). Dari seluruh pengguna internet di Indonesia merupakan mayoritas pada usia 15-19 tahun. Rentang usia ini adalah usia produktif yang berperan besar untuk terbentuknya wajah masa depan bangsa ini. Jika rentang usia ini terpapar dengan ideologi destruktif, maka masa depan bangsa ini terancam suram.


Di sisi lainnya, Ketua Dewan Masyarakat Anti Hoax, Septiadi Eko Nugroho, menyatakan bahwa konten hoax paling dominan adalah melalui sosial mencapai 92,4%. Angka ini jauh lebih besar terkait sebaran hoax melalui website yang mencapai angka 34,9% dan sebaran hoax melalui siaran TV pada angka 8,7%. Di sisi lainnya, hasil survey dari Cofounder Provetic menyatakan  bahwa jenis hoax paling dominan adalah isu sosial politik pada angka 91,8% dan SARA pada angka 88,6%. Akumulasi isu politik berbau SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) menciptakan wujud dari POLITIK IDENTITAS!


Mari kita cermati rangkaian data-data yang di sajikan di atas. Mayoritas masyarakat kita berada pada angka literasi yang minim tapi tingkat konsumsi internet dan eforia media sosial yang tinggi. Pada pengguna internet/media sosial berada pada usia produktif. Di mana mayoritas konten provokatif berbau politik identitas berada pada jaringan internet dan media sosial! 


Meskipun politik identitas hanya instrumen polarisasi politik temporer pada setiap momentum politik, kita tidak bisa menggangap remeh "destruction feedback" dari praktek politik identitas. Mengingat masyarakat kita sangat mudah di sugesti dan di provokasi dengan eforia politik, dari kadar rasional hingga ke kadar yang brutal.


Politik identitas di negara majemuk ini bagai infeksi berbahaya karena menciptakan luka balkanisasi yang dalam. Tatanan pluralitas retak hanya karena tujuan politik jangka pendek. Residu dari politik identitas meninggalkan luka perpecahan yang dalam serta butuh waktu lama sembuh. Celah ini bukan tidak mungkin menjadi ruang longgar bagi aneksasi ideologi transnasionalisme dari luar.


Politik identitas memicu "korosi ideologis" yang meluluh lantakan identitas pluralis dalam semangat "Bhineka Tunggal Ika".  Politik identitas mengancurkan amanah konstitusi yang menegaskan bahwa kita adalah "Negara Demokratis Yang Religius" dan bukan "Negara Teokratis" yang menyunat hak pluralitas. Politik identitas membuat Indonesia menjadi ladang subur bagi benih-benih radikalisme yang di impor dari  luar. Jika kita anggap remeh hal ini, kita bagaikan membesarkan "anak harimau" yang kelak siap menerkam dan mencabik-cabik kehidupan anak cucu kita.


Bagaimana sikap kita terhadap realitas politik identitas? Gunakan nalar kritis yang sehat agar tidak terkecoh dengan provokasi hoax dan hate speech dari politik identitas. Dalam setiap debat berbau politik, kedepankan argumen logis bukan sentimen identitas. Gunakan hak suara anda dalam momentum demokrasi untuk mendukung figur nasionalis, pluralis dan religius. Dan bukan figur politik identitas yang memicu balkanisasi sesama anak bangsa. Mari kita rawat solidaritas dalam pluralitas bangsa ini sebagai warisan luhur agar tetap lestari.


Jangan titipkan amanah bangsa ini kepada figur populis tapi menggadaikan harmonisnya pluralitas demi ambisi politik yang tidak negarawan. Titipkan suara politik kita sebagai amanah bangsa lepada sosok nasionalis, pluralis dan religius mengayomi segala perbedaan bangsa dari Merauke sampai Sabang dan dari Pulau Miangas hingga Pulau Rotte. Dan tentunya, bukan hanya nasionalis, pluralis dan religius, tapi cakap menjadi navigator handal membawa bangsa ini menjadi "Macan Asia" yang berdikari secara politik, ekonomi dan budaya.




Penulis : Jerry F.G Bambuta

Komentar

Tampilkan

Terkini