![]() |
Dominggus Yable |
JAKARTA, TIMURPOS.COM - Sebelum era reformasi, rezim orde baru dalam kepemimpinan Presiden Suharto yang militeristik cenderung membangun kebijakan pembangunan nasional yang bersifat “top down”. Di mana kebijakan pembangunan di tentukan dan di laksanakan dari pusat ke daerah. Akibatnya, banyak kebijakan pembangunan nasional sulit menjawab kebutuhan “grass roots society” (masyarakat akar rumput) di setiap daerah. Di tambah lagi dengan pola pembangunan rezim orde baru yang terpusat di Jawa membuat disparitas pembangunan yang sangat menyolok dengan kawasan lainnya di luar Pulau Jawa. Monopoli pasar dan sumber daya alam dari kartel oligarki rezim orde baru semakin banyak menciptakan para “diktator ekonomi” yang secara langsung sangat merugikan rakyat.
Di masa reformasi, terjadi perubahan system manajemen pembangunan nasional ketika di keluarkannya dua kebijakan tentang otonomi daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini menjadi jawaban dari masalah ketimpangan pembangunan selama era kepemimpinan orde baru. Kebijakan otonomi daerah memberikan ruang yang longgar untuk setiap daerah bisa melangsungkan aktivitas pembangunan daerah sesuai garis peraturan yang berlaku.
Agar supaya pelaksanaan otonomi daerah tidak kebablasan, maka pemerintah melakukan beberapa revisi undang-undang, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian di kenal dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 terkait tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Melalui kebijakan ini, daerah di berikan kewenangan untuk membuat kebijakan dalam memberikan pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Berbeda kasus dengan Papua yang mendapatkan keistimewaan melalui status “otonomi khusus” atau “otsus”, di mana alokasi anggaran pembangunan yang di gelontorkan dari pemerintah pusat ke wilayah-wilayah pemekaran di Papua memiliki porsi yang agak istimewa. Hal ini di dasari karena realitas urgen mengejar ketertinggalan pembangunan di berbagai bidang yang ada di Papua. Dengan di mekarkannya daerah otonomi Provinsi Papua Barat Daya, maka pemerataan manfaat pembangunan publik mutlak di rasakan secara nyata dan tepat sasaran hingga ke masyarakat akar rumput paling bawah. Oleh karena itu, saya ingin memberikan sumbangsih pemikiran terkait upaya strategis dalam memperjuangan hak kemandirian “Orang Asli Papua” atau OAP, dalam rangka menyambut di mekarkannya Provinsi Papua Barat Daya.
Semoga lima catatan kritis ini bisa menjadi atensi oleh pemerintah pusat dan pemerintah lokal. Dengan harapan supaya implementasi otonomi khusus bisa berlangsung sesuai tujuannya di Provinsi Papua Barat Daya. Jika tidak, maka “otsus” bukannya menjadi “otonomi khusus” malah menjadi “otonomi tidak serius”. Karena pada kenyataannya, bukan menjawab pemerataan pembangunan di Papua untuk OAP, malah yang terjadi adalah marginalisasi OAP secara masif dan sistimatis di berbagai bidang. Catatan pemikiran kritis yang saya uraikan adalah sebagai berikut, yaitu:
1. Porsi Keterwakilan OAP di legislatif harus terwakilkan secara adil tapi obyektif.
Setiap Partai Politik wajib memiliki sistem penjaringan caleg yang adil dalam setiap jenjang pemilihan legislatif (pileg), baik untuk pileg DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi dan DPR RI. Harus ada kuota khusus bagi keterwakilan OAP dalam parlemen legislatif, agar supaya keterwakilan OAP di setiap jenjang parlemen tetap terwakilkan. Tentunya, bukan hanya sekedar perwakilan OAP, tetapi sistem seleksi caleg untuk perwakilan OAP mutlak mengedepankan kualitas figur. Figur potensial yang tentunya memiliki kualitas figur politik yang representatif, baik itu kompetensi individu, representasi basis konsituen potensial, matang dalam riwayat perjuangan politik, memiliki komitmen konsisten untuk perjuangan rakyat dan mendapatkan rekomondasi dukungan partai politik. Ini mutlak menjadi catatan penting yang wajib di perhatikan oleh para petinggi partai politik dari tingkat kecamatan, kabupaten/Kota, provinsi dan hingga ke pusat.
Reportase oleh Ignas Doy pada media www.papuainside.com tanggal 5 November 2019 dengan topik terkait realitas keterwakilan legislatif dari OAP sangat minim. Mengutip dari hasil riset John Gobai menunjukan bahwa keterwakilan legilastif dari OAP di provinsi Papua masih di dominasi oleh tokoh pendatang atau ras melayu. Bahkan dari periode ke periode tingkat legislatif, persentase keterwakilan OAP dalam legilastif cenderung terus menurun. Situasi ini akan sangat ironis jika di kaitkan dengan tujuan kebijakan otsus di Papua. Sejatinya, kebijakan otsus di Papua adalah untuk menjawab kebutuhan percepatan pembangunan masyarakat di Papua. Bagaimana kebutuhan ini akan terjawab jika perwakilan politik bagi OAP dalam legislatif kian menurun. Sedangkan, Legislatif adalah “sumber pembahasan/penetapan kebijakan publik”, di khawatirkan jika persentase keterwakilan OAP di legislatif baik DPRD Kab/Kota, DPRD Provinsi dan DPR RI kian menurun akan membuat perjuangan hak politik OAP akan makin termarginalisasi.
2. Penjaringan basis PNS harus mempertimbangkan rasionalisasi kuota dari keterwakilan OAP secara adil.
Jumlah lulusan sarjana OAP di wilayah Papua Barat Daya cukup signifikan, angka ini harus jadi atensi dari pemerintah pusat dan daerah untuk penjaringan PNS (pegawai negeri sipil) dalam pemerintah Provinsi Papua Barat Daya. Dari total kuota PNS yang di akan di rekrut harus memilki kuota khusus untuk OAP secara adil dan rasional. Praktek nepotisme dan kolusi dalam penjaringan PNS harus bisa di eliminasi, agar supaya penjaringan PNS benar-benar berlangsung secara transparan, obyektif dan sesuai syarat kompetensi. Sistem seleksi dan penjaringan PNS tidak boleh di ciderai dengan praktek kolusi dan nepotisme yang mengabaikan syarat prosedural dan syarat kompetensi.
Penempatan pejabat tingkat kepala dinas/badan dalam jajaran SKPD (satuan kerja perangkat daerah) juga wajib menjaring perwakilan anak-anak daerah yang berkompeten (bukan hanya sekedar keterwakilan OAP tapi minim kompetensi). Jabatan-jabatan strategis di tingkat SKPD wajib memprioritaskan kompetensi agar mesin birokrasi bisa berjalan sinergis dan maksimal. Sehingga, implementasi kebijakan pemerintah akan terlaksana menciptakan kemanfaatan positif yang nyata bagi seluruh lapisan masyarakat Provinsi Papua Barat Daya. Hal ini wajib menjadi atensi serius bagi para setiap pemangku kebijakan di pusat dan daerah, agar tanggung jawab pemerataan hak kesejahteraan masyarakat dalam kebijakan otsus benar-benar membumi di setiap jengkal Provinsi Papua Barat Daya.
3. Kebijakan pemerintah daerah harus memprioritaskan “Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia” dan “Penguatan Ekonomi Akar Rumput”, dan bukan hanya fokus pada “Eksploitasi Sumber Daya Alam”.
Paket kebijakan pemerintah daerah secara utuh wajib memiliki orientasi pembangunan yang paripurna. Mutlak berorientasi secara prioritas pada “penguatan kualitas sumber daya manusia lokal” dan “penguatan ekonomi akar rumput”. Hal ini agar supaya bisa menyemai “benih kemandirian lokal”. Kebijakan pemerintah yang tepat sasaran akan menjadi “pondasi pembangunan daerah” yang kokoh karena bisa menciptakan “multiplier effect” signifikan ke segala bidang masyarakat. Penguatan kualitas usmber daya manusia lokal dan penguatan ekonomi akar rumput adalah pondasi vital yang akan mendorong terciptanya kemandirian dan keunggulan daerah yang kompetitif.
Akan sangat fatal jika dua aspek vital di atas di abaikan, dan kebijakan pemerintah daerah lebih gregetan dengan kebijakan jangka pendek untuk “eksploitasi sumber daya alam lokal”. Wilayah Papua Barat Daya sangat kaya dengan sumber daya alam baik secara kuantitas dan kualitas, secara pasti akan sangat berpotensi menjadi magnet investasi domestik ataupun mancanegara. Jika aspek ini lebih gregetan di genjot dan dua aspek yang di sebut sebelumnya tidak di prioritaskan, maka konsekuensi diskriminasi sosal, kesenjangan sosial dan marginalisasi sosial akan terjadi. Kemandirian lokal tidak di bangun tapi arus investasi dari luar dengan masif berkekspansi ke daerah. Aibatnya, potensi monopoli sumber daya alam dan pasar akan terjadi. Bukan tidak mungkin, membuat peran ekonomi akar rumput akan kian tergusur.
Pemerintah daerah tidak boleh terlena dengan rasa nyaman karena menempatkan dirinya sebagai “market broker” dan menikmati “upeti segar” dari para penguasa modal yang melakukan monopoli pasar dalam masyarakat. Makin melebar tentakel monopoli dari para penguasa modal ini akan membuat marginalisasi ekonomi yang sangat tragis dalam sektor ekonomi lokal. Pemerintah daerah mutlak menempatkan dirinya sebagai “market regulator” yang konsisten melakukan upaya proteksi ekonomi dalam ruang lokalitas. Agar tidak ada upaya monopoli pasar yang akan membuat masyarakat akar rumput malah jadi babu di tanahnya sendiri.
4. Kebijakan pemerintah harus seimbang antara menciptakan “Pertumbuhan Ekonomi” dan “Pemerataan Ekonomi”
Angka statistik pembangunan dengan indikator pertumbuhan ekonomi secara progresif kerap kali di jadikan pencapaian prestasi pembangunan. Tapi, kita harus jeli melihat grafik pertumbuhan ekonomi daerah tersebut, karena “pertumbuhan ekonomi daerah” belum tentu mencerminkan adanya “pemerataan ekonomi” dalam masyarakat. Jika sektor ekonomi daerah menunjukan grafik pertumbuhan ekonomi, tapi dalam realita lapangan, angka pertumbuhan ekonomi lebih banyak di kontribusi oleh para pelaku ekonomi kelas atas, sedangkan kontribusi ekonomi dari pelaku ekonomi kelas bawah minim, maka secara pasti telah terjadi marginalisasi ekonomi di tingkat akar rumput.
Angka pertumbuhan ekonomi juga tidak bisa hanya di dominasi dari anggaran belanja pemerintah daerah, sektor swasta lokal harus di genjot sedemikian rupa. Sektor swasta lokal harus di rangsang pertumbuhannya dengan melibatkan partisipasi kelompok masyarakat akar rumput. Akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang terdongkrak dari daerah “target pasar dari luar” menjadi “daerah produksi” yang bisa menciptakan swasembada lokal untuk beragam kebutuhan konsumsi. Dampaknya, akan menekan angka inflasi lokal sehingga sirkulasi modal ekonomi dalam masyarakat akan lebih longgar. Oleh karena itu, pemerintah daerah wajib men-harmonisasi antara “pertumbuhan ekonomi” dan “pemerataan ekonomi” dalam masyarakat. Agar semua lapisan masyarakat dari level bawah sampai level atas benar-benar menjadi pelaku ekonomi yang adil, unggul, mandiri dan sejahtera.
5. Penguatan sektor investasi berbasis sumber daya lokal harus di prioritaskan agar bisa mendorong peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah)
Pengelolaan anggaran pembangunan daerah harus berpijak pada tepat anggaran, tepat manfaat dan tepat sasaran. Sektor-sektor vital yang memiliki dampak pada terciptanya iklim investasi lokal harus di prioritaskan. Fasilitas publik seperti jalan yang mempermudah akses dengan wilayah lainnya, Fasilitas telekomunikasi yang akan mempermudah konektivitas antar wilayah dan sarana publik vital lainnya harus menjadi prioritas. Tujuan utamanya adalah mendorong Provinsi Papua Barat menjadi daerah “ekosistem investasi” yang kondusif dan strategis. Tentunya kebijakan point (5) ini tidak boleh mengabaikan catatan penting yang di uraikan pada point (4).
Birokrasi dalam pengurusan perizinan harus di simplifikasi agar tidak membuat iklim investasi yang ruwet. Provinsi Papua Barat Daya harus bersifat “friendly” terhadap peran investasi dari luar daerah, baik yang berasal dari investor domestik dan mancanegara. Kerap kali, arus investasi yang masuk ke dalam lokalitas tertentu memicu konflik agraria lokal. Gesekan status kepengelolaan lahan lokal oleh swasta dan hak kepemilikan tanah ulayat lokal hampir selalu memicu konflik berkepenjangan. Masalah ini harus bisa di mediasi secara cerdas oleh pemerintah provinsi, sehingga aktivitas investasi lokal bisa bertumbuh tanpa menggusur hak ulayat lokal.
Ketika iklim investasi lokal kondusif dan bertumbuh dinamis dengan konsisten memperhatikan point (1) sampai point (5), maka pertumbuhan investasi lokal akan memicu peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Optimalisasi sistem penyerapan pajak lokal harus bisa di optimalisasi dengan efisien. Salah satu indicator penilaian penerimaan pajak adalah nilai rasio pajak. Rasio pajak atau “tax ratio” adalah perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB), dimana hal itu juga merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak. Tax ratio itu mengukur kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dari total perekonomian, dalam arti total produk domestik bruto. Sehingga, ukuran tax ratio itu menunjukkan seberapa mampu pemerintah membiayai keperluan-keperluan yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sebagai kaum intelektual muda yang memiliki beban moral terhadap keberlanjutan pembangunan Papua Barat Daya, saya merasa wajib untuk memberikan sumbangsih pemikiran konstruktif ini. Setidaknya, catatan-catatan kritis di atas bisa di jadikan wacana untuk di godok dalam “dapur kebijakan publik” pemerintah Provinsi Papua Barat Daya. Dengan lima catatan kritis di atas, kita berharap terlaksananya pembangunan Papua Barat Daya yang unggul, mandiri dan sejahtera. Dan juga, bisa menjadi sebuah “rumah besar” di mana pluralitas suku, agama, etnis dan beragam kelompok sosial bisa hidup berdampingan dengan penuh solidaritas yang harmonis.
Editor : Alfrets Maurits
Sumber : Dominggus Yable