![]() |
Jerry.F.G.Bambuta |
MANADO,TIMURPOS.COM - Saya memprediksi, dalam momentum pilpres 2024 akan terjadi fenomena volatilitas politik yang menarik. Figur yang mendapat simpati akar rumput akan berusaha melakukan penetrasi meraih dukungan elit politik dan parpol koalisi. Sebaliknya, figur yang memiliki potensi meraih dukungan elit politik dan parpol akan bekerja keras untuk mendulang dukungan akar rumput.
Dua kutub politik di atas akan saling bergesekan mencari titik sentral dari bargaining politik. Di sisi lainnya, faksi-faksi di luar parpol yang mewakili kepentingan kolektif kaum agamis dan nasionalis akan terus berdinamika. Termasuk juga kepentingan kolektif kaum trans-nasionalis tidak akan tinggal diam. Upaya gerilya politik secara senyap maupun frontal akan terus di galang, entah di jadikan tunggangan para sutradara atau malah kelompok trans-nasionalis yang akan menunggangi dinamika politik nasional.
Di tengah kutub-kutub politik di atas, masyarakat kita perlu di sadarkan, bahwa negara besar ini lebih membutuhkan pemimpin dengan mental "pelopor" dan bukan sekedar "orator". Bukan cuma sekedar cerdas "merangkai kata" tapi juga wajib cakap "merangkai kerja" yang berdampak signifikan dan nyata bagi masyarakat.
Bangsa besar ini butuh pemimpin pengayom yang bisa merekatkan solidaritas bangsa dari Miangas sampai Rotte dan dari Merauke sampai Sabang. Figur yang konsisten melindungi solidaritas di tengah pluraritas bangsa ini. Bukan hanya sekedar figur karbitan yang hanya terlihat gemilang dengan polesan politik populisme. Sebaliknya, kita membutuhkan pemimpin yang matang karena memiliki kompetensi individu yang alami, teruji, visioner dan kaya inovasi.
Memasuki pilpres 2024, kita harus meneropong Indonesia bukan hanya secara nasional, tapi harus di cermati dalam cakupan global. Dinamika perang ekonomi global dan konflik kawasan akan menciptakan atmosfer ekonomi, sosial dan politik yang sangat ganas. Bukan tidak mungkin membuat Indonesia menjadi "battle field" dari antara faksi kepentingan global yang berlawanan.
Ancaman aneksasi asing ke dalam wilayah kedaulatan negara bisa terjadi dengan beragam cara. Tidak selalu dengan agresi militer secara frontal, tapi melalui balkanisasi yang menyusup ke dalam negara untuk menghancurkan stabilitas negara dan melemahkan ideologi negara. Salah satu ujung tombak balkanisasi adalah eksploitasi politik identitas yang memprovokasi "sentimen SARA" (suku, agama, ras dan antar golongan).
Semangat nasionalisme dan patriotisme akan di degradasi dan berganti dengan eforia individualisme, materialisme dan hedonisme yang sangat toksik. Spirit "Bhineka Tunggal Ika" akan di lunturkan karena dengan men-duplikasi faksi-faksi konflik yang terbentuk dalam negara. Benturan-benturan destruktif dalam internal negara akan di tujukan untuk melemahkan stabilitas negara.
Oleh karena itu, kita butuh sosok pemimpin yang tidak hanya di cintai oleh semua kalangan secara nasional. Kita butuh pemimpin yang akan jadi Nakhoda Ulung di atas kapal bernama "Indonesia". Cakap menerjang amukan badai dan puting beliung dari konflik ekonomi global. Arena tarung yang akan di hadapi bangsa ini ke depan bukan hanya berbagai konflik nasional tapi juga ancaman konflik global.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang piawai memainkan peran diplomatik luar negeri, sehingga posisi tawar Indonesia dalam berbagai aliansi global akan punya posisi penentu yang strategis. Faktanya, Indonesia terlalu banyak memiliki faktor strategis memainkan ini. Dunia global melihat Indonesia sebagai surga dari berbagai "raw material" dengan nilai ekonomi yang tinggi.
Akibatnya, menempatkan Indonesia terlalu "sexy" di mata kapitalis global yang ingin melanggengkan imperalisme mereka. Secara otomatis, posisi Indonesia secara global akan berada dalam percaturan yang cukup kompleks. Sehingga, akan sangat fatal jika pemimpin yang kita miliki hanya menjadi boneka dari para sutradara kapitalis dan liberalis. Saya mengajak kita semua benar-benar selektif dan bijak dalam menentukan arah dukungan politik dalam pilpres 2024.
Kedepankan "argumen logis" dan bukan "sentimen identitas" yang akan meluluh lantakan tatanan pluralitas nasional. Kita harus ingat akan identitas bangsa besar ini, bahwa kita adalah "Negara Demokratis" yang religius dan pluralis. Dan bukan "Negara Teokratis" yang memasung hak pluralitas.
Editor : Alfrets Maurits
Penulis : Jerry.F.G.Bambuta