Iklan

Follow us

BERLOGIKA KRITIS DI TENGAH KONFLIK APOLOGI POLITIK

Timur Pos
Selasa, 31 Januari 2023, 18:51 WIB Last Updated 2023-01-31T10:52:20Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

Jerry F Bambuta

JAKARTA, TIMURPOS.COM - Isu sentral dalam cakupan etnis maupun teritorial sosial masyarakat kerap di manfaatkan sebagai instrumen polarisasi basis politis. Isu sentral berbeda-beda untuk setiap cakupan etnis atau teritorial sosial masyarakat. Realitas urgen yang menjadi kebutuhan mendesak akar rumput akan menjadi bahan baku mendesain "kerangka eksploitasi isu". Dengan harapan, atensi publik akan berubah menjadi dinamika opini agresif, ataupun akan menjelma menjadi gerakan akar rumput secara kolektif (bibit basis elektoral).


Fase selanjutnya, respon akar rumput di atas akan di kanalisasi melalui strategi sentralisasi politis. Pada akhirnya, respon akar rumput akan di kerucutkan pada satu figur sentral yang siap berkontestasi dalam arena politis. Dan untuk memuluskan pola konsolidasi ini, beragam pendekatan politis persuasif akan di lakukan. Tidak ketinggalan, peran media sosial dan media main stream akan berperan seperti "parfum popularitas politis". Dengan harapan, efek viralisasi media bisa memberikan insentif politis terhadap popularitas politis yang meluas.


Menyimak dua paragraf di atas, kita di suguhkan dengan realitas klasik dari praktek politik populisme yang marak di bangsa ini. Aroma politik uang turut meramaikan dan membuat demokrasi penuh "obrolan politis" dan "obralan politis" murahan melalui lapak dagang transaksional. Bara api dari politik identitas destruktif turut menaikan suhu panas dari konflik berbau SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).


Di sisi lainnya, perang apologi dalam narasi politis sudah pasti tidak akan terelakan. Dalam politik, apologi berperan sebagai salah satu instrumen agitasi dan propaganda dalam ruang publik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, apologi di terjemahkan sebagai tulisan atau pembicaraan formal yang di gunakan untuk mempertahankan gagasan atau kepercayaan. Apologi sangat berperan penting dalam sebuah debat politis atau kampanye politis.


Perang apologi dalam sebuah kontestasi politis harus di cermati secara kritis oleh masyarakat akar rumput. Literasi politik yang minim dari basis akar rumput akan memicu "kebodohan" dan "pembodohan" dalam perang apologi politis. Secara sederhana, Kebodohan adalah konsekuensi logis dari minimnya tingkat pendidikan (termasuk juga rendahnya angka literasi). Sedangkan, pembodohan merupakan upaya masif dan sistimatis melalui "abuse power" untuk menggeser "kebenaran" dan menggantinya dengan "pembenaran" (pembodohan publik).


Relativitas dalam politik praktis kadang tidak di ukur dengan "faktor independen", tapi di pengaruhi oleh "asas kemanfaatan" secara individual maupun kolektif. Tidak heran, bahwa yang kekal dalam politik bukanlah "hubungan" tapi "kepentingan" (asas kemanfaatan). Detik saat ini, bisa menjadi koalisi selama asas kemanfaatan saling sinergis. Sebaliknya, detik selanjutnya bisa berubah menjadi oposisi ketika asas kemanfaatan saling antagonis. Dan secara ideal, asas kemanfaatan politik harus mengerucut pada kepentingan publik dari masyarakat.


Perang apologi politik akan memicu debat kusir yang menjamur, dari sudut emperan jalan hingga hotel bintang lima, dari yang sifatnya kritis berbasis data dan fakta, sampai yang bersifat konyol karena sesat pikir. Polemik politik akan kian sengit dalam dua sisi, antara mempertahankan citra kandidat ataukah menghancurkan citra dari kompetitor politik. Masyarakat kita yang minim literasi pada akhirnya akan jadi korban balkanisasi politis. Gagal memilah isu politis yang bersifat hoax, asumsi subyektif dan fakta obyektif, dan akhirnya memicu segregasi sosial yang tajam di tingkat akar rumput.


Oleh karena itu, sebagai masyarakat akar rumput, wajib belajar untuk mendahulukan peran "otak" daripada "jempol" kita. Setiap narasi dan isu politis harus di validasi dengan data dan fakta otentik dan obyektif (peran otak melalui nalar kritis). Jangan jempol (share info) lebih dulu bergerak dari otak. Tidak sadar, kita sudah menjadi bagian dari provokator yang menyebarkan hoax.


Di tengah perang apologi politik, opini antagonis sudah pasti terjadi. Tapi, kita tidak boleh terpancing emosi. Setiap silang pendapat harus di tanggapi secara santun dan penuh etika sebagai kaum intelek. Opini yang bersifat oposisi tidak serta merta harus di musuhi, karena opini oposisi bisa berperan sebagai penyeimbang dan alat kontrol. Dan yang paling pokok, dalam konflik apologi politik, kita harus lebih mengedepankan "argumen obyektif" dan bukan di butakan dengan "sentimen subyektif".





Editor : Alfrets Maurits

Penulis : Jerry Bambuta

Komentar

Tampilkan

Terkini