![]() |
Jerry F. G. Bambuta |
MANADO, TIMURPOS.COM - Ulasan ini mengurai gagasan berdikari secara sosio-ekonomi, baik dalam konteks global, domestik, lokalitas dan individualitas. Saya sengaja menggunakan sebutan "otopsi", karena merujuk pada realitas kekinian terkait inferioritas sosio-ekonomi di bangsa ini. Inferioritas sosio-ekonomi ini sangat toksik karena bisa mematikan kemandirian entitas masyarakat atau kedaulatan sebuah bangsa. Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI), makna sederhana dari inferioritas adalan rendahnya kualitas dan rendah diri. Inferioritas kerap di gunakan sebagai istilah karakter sosial dari sebuah entitas masyarakat, kondisi inferior yang membuat sebuah entitas merasa rendah diri saat berdiri dengan entitas sosial lainnya.
Dengan sengaja, saya menggunakan kata "mentalitas" pada judul di atas, karena kondisinya bukan lagi pada fase "gejala", tapi sudah merasuk dengan kritis menjadi "tragedi sosio-ekonomi". Mentalitas inferior secara sosio-ekonomi bisa di picu oleh kondisi marginalitas yang berlangsung dalam waktu yang lama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), marginal adalah istilah yang menjelaskan kondisi terabaikan dan terpinggirkan.
Kondisi marginalitas bisa terjadi ketika hak kemandirian secara budaya, ekonomi dan politik terpasung melalui diskriminasi yang tragis dalam ruang sosial masyarakat. Akibatnya, kondisi marginal yang berkepenjangan mencetak mentalitas inferioritas sosio-ekonomi, dalam istilah sarkasme di sebut "mentalitas budak". Kita sudah merdeka dari jajahan kolonialisme asing sejak 78 tahun lalu. Tapi, dalam beberapa kasus di lapangan, realitas marginalisasi sosio-ekonomi di bangsa ini masih menjadi ironi menyedihkan (bahkan bisa memancing geram).
Saya teringat perkataan Soekarno, "perjuanganku mudah karena penjajah dari bangsa asing, tapi perjuanganmu sulit karena penjajah dari bangsamu sendiri". Perkataan Soekarno tersebut seperti menjadi "tempelakan pedas" di tengah era kekinian. Di masa kolonialisme Belanda, ada istilah populer yang di sebut "inlander". Dulunya, sebutan itu adalah ejekan para kaum kolonial terhadap kaum pribumi yang mengandung makna kaum budak, kaum terbelakang atau kaum bawahan.
Pada era modern, inlander di terjemahkan dengan cara pandang atau sikap yang lebih membanggakan produk atau budaya asing daripada produk atau budaya dalam negeri. Mentalitas inferior ataupun inlander sama-sama meng-korosi identitas dan eksistensi berdikari sebuah entitas masyarakat atau bangsa. Mental inferior dan inlander merupakan bentuk tragedi melalui pudarnya martabat sebuah entitas masyarakat atau bangsa, sehingga mengaibkan diri sebagai bangsa penjilat.
Falsafah negara yang di sebut dengan Pancasila, menekankan simpul utama dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui semangat gotong royong dan berdikari. Gagasan kesetaraan, keadilan dan berdikari merupakan konseptualisasi utama dari semangat Pancasila. Sayangnya, jika kita membedah struktur ekonomi nasional kita malah menemukan realitas marginal yang antagonis.
Data yang di rilis oleh situs katadata pada 9 November 2018 mengungkapkan, berdasarkan laporan Credit Issue yang bertajuk "Global Wealth Report 2016", menunjukan bahwa 10% orang paling kaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan penduduk dewasa. Sementara 1% orang terkaya Indonesia menguasai 46% total kekayaan penduduk dewasa. Itu artinya ada kesenjangan ekonomi yang sangat lebar dalam masyarakat. Bukankah ini paradoks dengan falsafah ekonomi dalam Pancasila, yang katanya menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan dan berdikari ekonomi?
Saya khawatir jika potret dari struktur ekonomi di atas tidak segera di perbaiki, maka di tengah arus investasi asing yang kian membanjir dalam negeri, akan memicu jurang marginalisasi sosio-ekonomi dalam negeri. Yang kaya akan makin kaya seiring kartel borjuis yang kian gemuk, dan kelompok yang marginal akan kian tergerus. Kita jangan dulu bereforia dengan grafik pertumbuhan ekonomi yang positif. Karena pertumbuhan yang positif belum tentu di barengi dengan pemerataan ekonomi yang berkeadilan.
Pasca pandemi Covid 19, dan berbarengan dengan perang Rusia dan Ukraina yang mengganggu pasokan global akan energi dan pangan ke negara Barat dan Eropa. Indonesia menjadi salah satu "negara sentral" di kawasan Pasifik yang di incar oleh negara Barat dan Eropa untuk pasokan energi dan pangan. Tidak hanya itu, secara geoposisi, geokonomi dan geopolitik Indonesia menjadi sentral di kawasan Pasifik dan global. Artinya, kebijakan domestik Indonesia akan memicu amplitudo secara global. Sebut saja salah satunya adalah kebijakan hilirisasi nikel Indonesia yang memicu efek goncangnya industri baja Eropa.
Gara-gara kebijakan tersebut membuat negara-negara Eropa menggugat Indonesia di WTO (World Trade Organisation). Dan, sepertinya kebijakan hilirisasi ini akan berlanjut ke produk lainya seperti tembaga, bauksit, timah, dan lainnya. Saya memprediksi hal ini akan memicu terjadinya "bargaining value" Indonesia di tingkat global menjadi sangat kompetitif. Akan tetapi, di tengah realitas bombastis di atas, saya mengkhawatirkan akan adanya ancaman aneksasi asing dalam ruang-ruang kedaulatan negara. Kita harus membangun kewaspadaan akan dominasi geopolitik global yang akan berpenetrasi dalam negeri melalui "proxy war" (asimetric war).
Dalam percaturan geopolitik global, Indonesia berada dalam pusaran konflik ekonomi global antara China dan Amerika. Sebagai bangsa yang sadar akan identitas kedaulatan dirinya, Indonesia mutlak memiliki "nation dignity" untuk hidup berdikari sebagai tuan di tanah sendiri. Jangan mau hidup di bawah ketiak asing sebagai bangsa jongos, dan akhirnya di paksa hidup dalam dominasi kapitalisme global. Nation dignity merupakan martabat bangsa yang harus di emban oleh seluruh elemen bangsa karena terkait dengan kemandirian dan kedaulatan negara.
SECARA GLOBAL, Indonesia harus bisa memanfaatkan kekuatan global dari sisi China dan Amerika agar memperkokoh kedaulatan negara. Bukan asing yang memanfaatkan kita, tapi kita yang mutlak memanfaatkan asing melalui basis kemitraan global. Dan dengan tegap berdiri sebagai bangsa yang setara dalam panggung dunia. Pola kekuatan kapitalis barat melalui lembaga perbankannya kerap mensyaratkan privatisasi sektor publik sebagai jaminan hutang. Pola ini sangat mengancam kedaulatan negara karena membuka ruang bagi para kapitalis barat melakukan eksploitasi sumber daya alam domestik.
Tapi, bukan berarti China lebih baik dari Amerika, meskipun dalam investasi masih lebih menguntungkan China daripada Amerika. Menurut data yang di rilis oleh Jayani melalui databoks pada 29 Oktober 2021, nilai modal asing China di Indonesia mencapai U$ 2,3 milyard pada Januari-September 2021. Nilai investasi ini berada pada peringkat ketiga terbesar modal asing dalam negeri. Peringkat pertama adalah Singapore mencapai U$ 7,3 milyard, dan peringkat kedua adalah Hongkong mencapai U$ 3,1 milyard.
Meskipun dalih format kerja sama investasi China ke Indonesia bukan berbentuk "government to goverment" (G to G), dan bersifat "business to business" (B to B) untuk menghindari malapetaka "debt trap" dari pinjaman asing. Potensi aneksasi asing bukanlah cerita hisapan jempol belaka. Negara mutlak melakukan audit investasi dan regulasi yang obyektif terhadap pusat investasi asing dalam negeri. Sehingga, setiap jengkal kedaulatan negara tidak akan di kangkangi oleh pihak asing mana pun.
SECARA DOMESTIK, pemerintah wajib melakukan reformasi struktur ekonomi agar ketimpangan ekonomi yang di uraikan sebelumnya bisa lebih merata. Penguatan sumber daya manusia domestik mutlak berbasis keunggulan kompetitif, bahkan bisa menjawab persaingan kualitas secara lokal, nasional dan global. Indonesia pada rentang 2020 - 2040 akan berhadapan dengan bonus demografi. Di mana prosentase dari populasi usia produktif pada usia 15-64 tahun akan lebih besar daripada prosentase usia non-produktif (kelompok usia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Ironisnya, dalam survey angka literasi kita sangat minim. Dalam survey literasi yang di lakukan oleh OECD (Organisation For Economic Cooperation And Development) dengan tajuk PISA (Program For International Student Assesment), menunjukan tingkat literasi kita pada deret 62 dari 70 negara responden. World Economic Forum mengklasifikasi literasi pada tujuh kemampuan dasar, yaitu literasi baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, budaya dan kewarga negaraan (politik).
Ini artinya, basis dari bonus demografi mutlak di sentuh dengan kebijakan dini untuk penguatan kompetensi berdaya saing lokal, nasional dan global. Jika basis ini terjebak dalam krisis kompetensi, maka akan membebani negara dan berpotensi memicu resiko sosio-ekonomi kelak. Sebaliknya, jika basis ini di bekali sejak dini dengan kompetensi unggul akan menciptakan "generator ekonomi raksasa" yang membuat bangsa ini lebih berjaya.
SECARA LOKAL, pemerintah daerah di tingkat provinsi/kabupaten/kota harus menempatkan diri sebagai "market regulator" untuk membangun ekonomi lokal yang kuat. Dan bukan berperan sebagai "market broker" yang membuka ruang bagi monopoli modal asing yang menggusur ekonomi kerakyatan. Pemerintah pusat berperan mengatur dan mengawasi aspek regulasi dari investasi asing. Tapi yang berhadapan langsung dengan aktivitas investasi asing adalah pemerintah di daerah. Peran pemerintah daerah mutlak menciptakan proteksi terhadap aktivitas ekonomi rakyat dalam basis usaha kecil menengah (UKM).
Kebijakan pemerintah daerah harus tegas menghindari potensi dari monopoli modal di tingkat akar rumput. Agar eksistensi pelaku usaha kecil menengah tidak tergusur. Malah sebaliknya, pemerintah daerah wajib memberikan penguatan bagi basis usaha kecil menengah di masing-masing daerah. Indonesia lumayan "survive" di tengah resesi global karena di topang basis ekonomi kolektif berbentuk usaha kecil menengah (UKM).
UKM berbahan baku lokal, berbeda dengan usaha berbasis industri yang berbahan baku impor dan mudah sekali di pengaruhi fluktuasi mata uang. Data yang di rilis oleh situs kementerian koordinator ekonomi RI pada tanggal 5 Mei 2021, mengungkapkan bahwa jumlah UKM nasional mencapai angka 64,2 juta dengan kontribusi PDB (produk domestik bruto) mencapai 61,07%.
SECARA INDIVIDUAL, kita merupakan personal yang terhisap dalam kesatuan kolektif sebagai warga Indonesia. Nation dignity (martabat berbangsa) harus mencetak karakter religius, nasionalis, unggul, berdikari dan kompetitif dalam setiap insan Indonesia. Kita menempa diri menjadi sosok produktif dan inovatif dalam membangun kemandirian secara individu maupun kolektif. Kita lebih tangguh menguras keringat kerja keras untuk berpijak di atas kaki sendiri, daripada harus menguras ludah sebagai bangsa penjilat.
Kita terlepas dari belenggu inferior atau inlander, karena kita sembuh dari "rabun literasi". Kita sanggup berpikir global dan bertindak lokal menghasilkan inovasi brilian. Kita akan berbangga sebagai "anak kampung" dalam semesta dunia, tapi kita menolak di belenggu "mental kampungan" yang harus membuat kita rendah diri. Kita sadar bahwa Tuhan yang menitipkan kita di bangsa ini, telah menempatkan sebuah "amanah spesifik" agar kita bermanfaat bagi banyak orang.
Editor : Nando Sandala
Penulis Opini : Jerry F. G. Bambuta