Ilustrasi
SANGIHE,TIMURPOS. COM - Pasca pengundian dan penetapan nomor urut pasangan calon (paslon) Bupati dan Wakil Bupati untuk Pilkada Kabupaten Kepulauan Sangihe yang dilaksanakan oleh KPU pada Senin, 23 September 2024, paslon dengan elektabilitas tinggi Pilkada Sangihe, Rinny Tamuntuan- Mario Seliang, langsung dihajar black campaign.
Model kampanye hitam atau kampanye kotor itu dilansir sebuah media lokal pada 24 September 2024 dan dieditori jurnalis berinisial DA dengan judul tulisan: “'Trauma' Kekalahan Pilpres Berdampak Hingga Pilkada, Pendukung Hindari Paslon Nomor Urut 3 ?!
Substansi artikel atau tulisan yang dieditori DA tersebut pada intinya bernuansa menggiring opini bahwa nomor urut 3 yang didapatkan pasangan Rinny Tamuntuan- Mario Seliang dalam proses pengundian nomor urut calon sebagai angka “ketidak beruntungan” alias angka sial.
Kesialan itu oleh jurnalis DA, dikait-kaitkan dengan kekalahan pasangan Ganjar-Mahfud dalam Pilpres 2024.
Menanggapi serangan ala jurnalis berinisial DA tersebut, mantan Ketua Asosiasi Media Ciber Indonesia Cabang Sulut, Agus Hari mengatakan tulisan itu sekadar opini pribadi DA selaku penulis dan editor.
“Tulisan itu menurut saya tidak berdampak besar kepada paslon nomor urut 3. Karena hanya didasarkan pada pendapat pribadi penulis dengan tidak merujuk pada referensi yang lebih valid,” kata senior Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu.
Sementara budayawan dan pengamat politik Sulut, Amato Assagaf mengatakan tulisan atau opini semacam itu dapat dikategorikan sebagai model marketing politik yang buruk.
“Meruntuhkan popularitas dan elektabilitas pasangan calon dengan giringan isu yang tak berdasar seperti itu justru memberikan efek pantul yang lebih baik dan menguntungkan terhadap elektabilitas pasangan calon yang diserang,” kata Amato.
Apalagi giringan isu itu, kata dia, didasarkan pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia mistika angka. Bahkan angka 3 itu sendiri dalam dunia mistik angka, tidak termasuk angka sial atau angka ketidak beruntungan.
Dijelaskan Amato, angka 3 dalam symbol mistika angka justru mengisyarakatkan suatu kekuatan, kestabilan, dan dapat menempatkan posisi sentral yang pas untuk menopang sesuatu yang lebih berat dan situasi yang tidak stabil diatasnya.
“Justru angka 3 terus menerus digunakan sebagai angka penyeimbang yang aman dan bermakna dalam kehidupan sosial ataupun beragama,” ujarnya.
Lepas dari itu kata Amato, dunia politik adalah dunia rasional yang dapat dihitung dan dapat diukur dengan menggunakan model-model analisis berbasis akademik dan teknologi.
“Tidak ada kerja politik yang main tebak-tebakan dan berharap-harap pada mistik keberuntungan. Semua kerja politik dikerjakan menurut strategi marketing politik yang terhitung dan terukur,” ucapnya.
Sementara, mantan Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulut, Iverdixon Tinungki mengatakan, merasa lucu saat melihat dan membaca tampilan tulisan yang terkait paslon nomur urut 3 di Sangihe itu.
“Di judul tulisan saja sudah terlihat, penulis atau editor tulisan itu nampak kurang paham dengan penggunaan atau penempatan tanda-tanda baca. Di awal judul terlihat ada tanda petik pembuka pernyataan, dilapisi tanda koma atas, kemudian di akhir judul ada tanda tanya dilapisi tanda seru. Penggunaan tanda-tanda seperti itu sangat tidak lazim dalam dunia jurnalistik,” kata Iverdixon.
Sementara dalam tubuh berita, tidak ada nama sumber yang menyatakan bahwa angka 3 itu yang menyebabkan banyak orang menghindar paslon yang meraih nomor urut 3 dalam pengundian nomor urut Paslon.
“Menurut saya tulisan itu sekadar opini pribadi DA selaku editor yang mengedit tulisannya sendiri karena tidak tercantum siapa penulis berita itu. Selain itu, cara penulisan tidak mengunakan kaidah penulisan jurnalistik yang benar,” kata dia.
Menurut Iver, opini yang ditulis jurnalis DA tak lebih sekadar pendapat awam yang mutunya setara dengan canda-candaan politik saja.
(82)