Fariz Maulana Akbar
SANGIHE, TIMURPOS. COM - Pada Rabu, 15 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa warga negara asing (WNA) kini diperbolehkan memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memantik perdebatan nasional yang tak bisa dianggap remeh.
Di balik semangat efisiensi dan profesionalisme, ada pertaruhan besar atas kedaulatan ekonomi dan keamanan nasional Indonesia.
Pernyataan Presiden, “Sekarang ekspatriat bisa memimpin BUMN kita,” tentu menimbulkan tanya mendasar: sejauh mana bangsa ini bersedia membuka pintu kendali aset strategis kepada pihak asing, dan apakah kita sudah memiliki sistem pengamanan intelijen serta hukum yang mampu menutup semua celah risiko?
Antara Profesionalisme dan Kedaulatan
Tak ada yang menolak profesionalisme. Dunia bisnis memang bergerak dengan logika efisiensi dan meritokrasi. Namun BUMN bukan sekadar korporasi; ia adalah organ vital negara.
Di sana tersimpan data, aset, dan pengaruh yang langsung menyentuh hajat hidup rakyat: energi, transportasi, telekomunikasi, logistik, hingga keuangan negara.
Maka ketika pimpinan tertinggi BUMN boleh diisi oleh non-WNI, kita tidak sedang bicara soal gaji, tetapi soal akses dan kontrol.
BUMN adalah ruang di mana keputusan ekonomi bisa berarti keputusan politik.
Dan dalam konteks geopolitik hari ini, kontrol ekonomi adalah bentuk baru dari penjajahan modern, halus, legal, tapi sangat efektif.
Sudut Pandang Intelijen: Bahaya yang Tak Kasatmata
Dalam perspektif intelijen, kebijakan ini berpotensi membuka front baru dalam perang non-militer: intelijen ekonomi.
Pimpinan asing, meski profesional, tetap memiliki kewajiban hukum kepada negara asalnya, baik dalam bentuk pelaporan pajak, afiliasi bisnis, maupun loyalitas etis.
Mereka bisa menjadi titik masuk bagi kepentingan korporasi global atau bahkan negara asing dalam mempengaruhi arah ekonomi Indonesia.
Ingat, banyak negara besar hari ini mengamankan kepentingannya bukan dengan pasukan, tapi dengan penetrasi data, investasi, dan pengendalian posisi manajerial di negara lain.
Kebocoran data keuangan, rencana investasi, atau struktur logistik nasional bukan lagi ancaman fiktif melainkan ancaman strategis yang dapat melemahkan kemandirian negara dari dalam.
Profesionalisme Tak Harus Mengubur Nasionalisme
Membatasi pimpinan asing bukan berarti menolak kerja sama global.
Nasionalisme yang matang bukanlah isolasi, tapi kewaspadaan.
Kita perlu otak-otak dunia, tetapi kendali tetap harus di tangan bangsa sendiri.
Kita bisa belajar dari Jepang dan Korea Selatan — mereka membuka diri terhadap teknologi dan manajemen asing, tapi tidak menyerahkan kemudi perusahaannya kepada warga negara lain.
Apalagi ketika publik masih berjuang menumbuhkan rasa percaya diri terhadap kemampuan anak negeri.
Mengangkat WNA menjadi direktur utama BUMN sama saja mengirim pesan: “Bangsa ini belum cukup mampu.”
Padahal yang kita butuhkan bukan orang asing lebih cerdas, melainkan sistem nasional yang memberi ruang bagi kecerdasan lokal.
Resiko yang Tak Bisa Diabaikan
Kebijakan ini menyimpan tiga risiko utama:
1. Intelijen dan kebocoran data; potensi eksploitasi informasi strategis oleh pihak luar.
2. Konflik kepentingan; sulit memastikan loyalitas tunggal pada Republik jika sang pimpinan masih terikat kepentingan korporasi global.
3. Psikologis bangsa; berkurangnya kepercayaan publik terhadap kemampuan nasional, dan munculnya resistensi sosial-politik.
Tanpa regulasi ketat, mekanisme security clearance nasional, dan pengawasan lintas lembaga, kebijakan ini bisa menjadi pintu belakang bagi infiltrasi ekonomi.
Dan celah semacam itu, dalam dunia intelijen, hanya butuh satu kesalahan untuk menjadi bencana nasional.
Profesionalisme yang Berdaulat
Reformasi BUMN memang perlu, tapi bukan dengan mengorbankan kedaulatan.
Profesionalisme yang benar adalah ketika bangsa ini percaya bahwa putra-putri Indonesia mampu memimpin aset negaranya sendiri dengan standar dunia.
Kita boleh mengundang konsultan asing, penasihat teknis, atau mentor global — tapi komando utama harus tetap di tangan anak negeri.
BUMN bukan gerbang bagi pihak luar untuk masuk, melainkan benteng bagi bangsa untuk berdiri tegak di tengah persaingan global.
Dan tugas kita sebagai bangsa adalah memastikan benteng itu tidak dijaga oleh tangan asing, betapapun profesionalnya mereka.
Indonesia tak boleh menjadi penonton di rumah sendiri.
Karena kedaulatan bukan hanya tentang bendera dan lagu kebangsaan tapi tentang siapa yang menandatangani keputusan strategis atas nama republik ini.
Penulis saat ini tinggal di wilayah perbatasan dan
Pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.
Editor : Alfrets Maurits
Sumber : Fariz Maulana Akbar