Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat (Jarak Dekat), Fariz Maulana Akbar,
SANGIHE, TIMURPOS. COM — Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat (Jarak Dekat), Fariz Maulana Akbar, menyampaikan pandangan kritis terhadap arah demokrasi Indonesia dalam momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-117. Menurutnya, kondisi demokrasi saat ini berada dalam fase transisi yang genting dan konsolidasi yang tertatih-tatih sehingga berpotensi menggerus nilai-nilai dasar demokrasi dan etika pemerintahan.
“Di tengah perayaan Hari Kebangkitan Nasional, kita diingatkan kembali akan semangat perjuangan kolektif untuk martabat bangsa. Ironisnya hari ini, kita justru menyaksikan praktik-praktik kekuasaan yang makin menjauh dari prinsip demokrasi yang sehat dan bermartabat,” ujar Fariz dalam pernyataan resminya di Tahuna, Selasa (20/5/2025).
Secara umum Fariz menyoroti sejumlah fenomena yang dinilai mencederai demokrasi, di antaranya: Pertama, pelemahan institusi demokrasi dan kontrol masyarakat sipil, yang diperburuk dengan politik balas jasa dan kooptasi terhadap lembaga-lembaga independen; Kedua, menurunnya kualitas partisipasi publik, akibat dominasi politik uang dan penyempitan ruang dialog kritis di tingkat lokal maupun nasional; Ketiga, sentralisasi kekuasaan di tangan segelintir elit, yang tidak mencerminkan semangat kebhinekaan dan keadilan sosial.
Khusus di daerah kepulauan seperti Kabupaten Kepulauan Sangihe, Fariz menilai tantangan demokrasi jauh lebih kompleks. Ketimpangan pembangunan, minimnya akses informasi, dan terbatasnya ruang keterlibatan publik menjadi hambatan serius dalam memperkuat demokrasi di tingkat akar rumput.
“Di wilayah-wilayah perbatasan seperti Sangihe, demokrasi bukan sekadar pemilu lima tahunan, tetapi soal bagaimana rakyat bisa bersuara, dilibatkan, dan dilindungi hak-haknya sebagai warga negara. Demokrasi yang sehat harus terasa sampai ke pulau-pulau kecil, bukan hanya di Ibukota pusat kekuasaan,” ujarnya.
Fariz menegaskan bahwa Hari Kebangkitan Nasional harus dijadikan titik balik kesadaran publik untuk menuntut tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Terakhir, ia menyerukan agar seluruh elemen masyarakat terutama pemuda, tokoh agama, tokoh adat, dan komunitas lokal mengambil peran aktif dalam menjaga demokrasi, membangun budaya kritis, serta melawan segala bentuk penyimpangan kekuasaan.
(*82)