Fariz Maulana Akbar
SANGIHE, TIMURPOS. COM - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pengujian konstitusionalitas keserentakan pemilu. Dalam putusan yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta, Mahkamah menetapkan bahwa mulai Pemilu 2029, pelaksanaan pemilihan umum dibagi dalam dua kategori besar yang dilakukan dalam waktu berbeda namun tetap dalam satu siklus pemilu nasional, yaitu Pemilu Serentak Nasional: meliputi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI dan Pemilu Serentak Daerah meliputi pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Putusan MK ini sekaligus mengubah model keserentakan pemilu yang selama ini dilakukan bersamaan dalam satu hari. MK menilai, skema lama menyebabkan beban teknis, logistik, dan psikologis yang berlebihan terhadap pemilih, penyelenggara, hingga aparat keamanan.
Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat (JARAK DEKAT), Fariz Maulana Akbar, menyambut baik putusan ini sebagai langkah maju dalam penataan sistem kepemiluan nasional.
“Putusan MK ini adalah momentum perbaikan demokrasi kita. Pemilu yang lebih terjadwal dan tematik memungkinkan masyarakat lebih fokus memilih calon berdasarkan kapasitas, bukan sekadar berselancar di atas arus politik nasional,” ujar Fariz dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (28/6).
Menurut Fariz, model baru ini membuka sejumlah peluang dan manfaat penting. Dengan putusan MK ini, partai politik dapat merancang strategi yang berbeda antara pemilu nasional dan daerah, sehingga kaderisasi lebih efektif dan berbasis kebutuhan wilayah. Kemudian dengan beban memilih yang lebih ringan, pemilih dapat memahami kandidat dan isu secara lebih mendalam, baik di tingkat nasional maupun lokal. Selain itu, penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu akan lebih mampu mengelola tahapan, logistik, dan pengawasan dengan pembagian waktu yang lebih proporsional.
Meski demikian, Fariz juga mengingatkan sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi bersama. Menurutnya, dua kali pemilu besar berpotensi meningkatkan anggaran negara dan daerah. Dibutuhkan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Lanjut dia, dua siklus kampanye nasional dan daerah dapat kembali memanaskan tensi dan memperpanjang suhu politik dan konflik sosial residu dari konflik pemilu sebelumnya jika tidak dikelola secara damai dan demokratis.
Fariz juga menambahkan, Pemerintah dan DPR harus menyiapkan revisi regulasi secara cepat dan menyeluruh terkait persoalan yang akan timbul kemudian.
"Yang krusial dan terpenting terkait aturan peralihan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 yang akan habis pada 2029 karena putusan MK memerintahkan Pemilu Daerah digelar paling cepat dua tahun atau paling lambat dua tahun enam bulan setelah Pemilu Nasional 2029, yaitu pada 2031 mendatang," terangnya.
Putusan MK ini juga berpotensi mereduksi coat tail effect (baca: efek ekor jas), yakni fenomena di mana popularitas calon presiden mengerek suara partai atau caleg di legislatif. Fenomena ini kerap menyebabkan distorsi pilihan publik, di mana calon legislatif menang bukan karena kualitas pribadi, melainkan karena “menempel atau mengekor” pada figur calon presiden.
“Dengan pemilu daerah dilakukan terpisah, masyarakat bisa menilai calon kepala daerah dan legislatif lokal secara lebih objektif, tanpa terdistraksi euforia Pilpres,” jelas Fariz.
Fariz menekankan pentingnya menjaga semangat konstitusional putusan ini agar tidak berhenti di tataran teknis, melainkan menjadi bagian dari upaya mewujudkan demokrasi yang sehat, berkualitas, dan bermartabat.
“Kami mengajak semua elemen bangsa, termasuk partai politik, masyarakat sipil, dan penyelenggara pemilu, untuk memaknai putusan ini sebagai tonggak pembaruan demokrasi Indonesia. Demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi juga soal mendidik dan memuliakan rakyat sebagai pemilik kedaulatan,” tutupnya.
Editor : James Wahongan
Reporter : Alfrets Maurits