Iklan

Follow us

Pemilu Terbelah, Konstitusi Ditabrak: Catatan Kelam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024

Timur Pos
Rabu, 09 Juli 2025, 11:18 WIB Last Updated 2025-07-09T03:18:10Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini


Fariz Maulana Akbar Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat

SANGIHE, TIMURPOS. COM
- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi perbincangan hangat di kalangan pemerhati hukum tata negara dan masyarakat luas. Alih-alih menjaga kemurnian konstitusi, MK justru dinilai telah mengkhianati semangat UUD 1945 dengan membuat tafsir yang menciptakan norma baru. Dalam putusan tersebut, MK memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah, yang selama ini dilaksanakan serentak lima tahun sekali.


Sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menjaga konstitusi (guardian of the constitution), MK seharusnya berdiri kokoh pada teks dan semangat UUD 1945. Namun, dalam putusan ini, MK seperti lupa pada tugas sucinya. Ia bukan hanya menafsirkan, tapi juga menciptakan norma baru. Dengan kata lain, MK melakukan tindakan yang sejatinya merupakan wewenang lembaga legislatif, bukan yudikatif.


*Pasal 22E yang Dilanggar*


Jika kita merujuk Pasal 22E UUD 1945 ayat (1) dan (2), konstitusi telah jelas mengatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Artinya, pemilu nasional dan daerah adalah satu kesatuan siklus yang harus dilaksanakan secara periodik dan serentak.


Namun, putusan MK No. 135 justru membuka ruang bagi pemilu nasional dan daerah dilaksanakan secara terpisah. Pemisahan ini jelas bertentangan dengan semangat penyelenggaraan pemilu lima tahunan yang serentak, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.


Secara hukum tata negara, inilah yang disebut sebagai judicial overreach. Dimana lembaga yudisial melewati batas kewenangannya dan mengambil alih peran pembentuk undang-undang. Padahal, dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia, kewenangan untuk membentuk norma baru terkait pemilu berada pada DPR bersama Presiden, bukan MK.


*Dari Penjaga Menjadi Pembentuk Konstitusi*


MK sejak awal kelahirannya didesain sebagai negative legislator. Artinya, ia hanya berwenang membatalkan norma undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, bukan membuat norma baru. Namun, kali ini MK bertindak sebagai positive legislator yang menciptakan norma baru melalui putusannya.


Putusan No. 135/PUU-XXII/2024 adalah salah satu contoh paling nyata dari kecenderungan tersebut. Dengan dalih mengatur agar pelaksanaan pemilu lebih efektif dan efisien, MK justru menabrak prinsip dasar konstitusi tentang periodisasi pemilu. Ini bukan sekadar tafsir progresif, tapi sudah masuk kategori perombakan struktur norma konstitusi tanpa mekanisme amandemen.


Sebagai lembaga negara yang seharusnya menjaga konstitusi, tindakan seperti ini justru mengkhianati amanat UUD 1945. Konstitusi tidak bisa diubah hanya melalui tafsir satu lembaga, apalagi lembaga tersebut bukan pembentuk undang-undang. Kalau pun ada kebutuhan untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah, mekanismenya adalah melalui amandemen UUD 1945, bukan putusan pengadilan.


*Dampak yang Tidak Sederhana*


Putusan ini bukan hanya soal tafsir hukum semata. Dampak politik, anggaran, dan sosialnya akan sangat luas. Dengan dipisahnya pemilu nasional dan daerah, masyarakat harus menghadapi dua kali gelombang mobilisasi politik yang berpotensi memperbesar polarisasi dan ketegangan sosial. Biaya penyelenggaraan pemilu juga akan membengkak, karena logistik dan sumber daya harus disiapkan dua kali.


Selain itu, efektivitas pemerintahan daerah juga akan terganggu. Ketika kepala daerah dan DPRD dipilih pada waktu yang berbeda dengan pemilu nasional, sinkronisasi perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah akan semakin sulit dicapai. Padahal, salah satu alasan pemilu serentak adalah untuk memperkuat integrasi perencanaan nasional dan daerah.


Ironisnya, MK justru mengabaikan semua pertimbangan tersebut dan lebih memilih membuat tafsir sepihak yang berdampak sistemik.


*Konstitusi Bukan Milik Satu Lembaga*


UUD 1945 adalah kesepakatan bersama seluruh rakyat Indonesia yang dirumuskan melalui mekanisme amandemen terbuka dan demokratis. Tidak ada satu pun lembaga negara, termasuk MK, yang berhak mengubah atau menambah norma konstitusi secara sepihak.


Kalau MK merasa ada ketidaksesuaian antara kebutuhan praktik penyelenggaraan pemilu dengan norma UUD 1945, jalannya adalah mendorong pembentuk undang-undang atau mengusulkan amandemen melalui mekanisme yang sah. Bukan justru mengambil alih peran tersebut melalui tafsir dalam putusan.


*Perlu Revisi dan Evaluasi*


Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 perlu dikaji ulang secara kritis oleh pembentuk undang-undang, akademisi, dan masyarakat sipil. DPR dan Presiden harus segera melakukan legislative review untuk memastikan jadwal pemilu tetap berada dalam kerangka lima tahunan seperti yang diamanatkan konstitusi.


Ke depan, MK juga perlu mengevaluasi peran dan batas kewenangannya. Jangan sampai lembaga yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi justru menjadi aktor yang merusak kesakralan konstitusi itu sendiri (betrayal of the constitution).


Putusan MK ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa konstitusi bukan sekadar teks hukum yang bisa ditafsirkan seenaknya. Ia adalah fondasi negara yang harus dijaga dengan kesetiaan, bukan dimanipulasi demi kepentingan praktis atau efisiensi semu.


Indonesia butuh lembaga penjaga konstitusi yang teguh menjaga konstitusi, bukan lembaga penjaga konsitusi yang menabrak konstitusi itu sendiri.







Editor : James Wahongan 

Reporter : Alfrets Maurits 




Komentar

Tampilkan

Terkini