Iklan

Follow us

Jokowi di Pusaran Pemilu Raya PSI: Antara Panggung Atraksi dan Substansi Politik

Timur Pos
Selasa, 03 Juni 2025, 10:08 WIB Last Updated 2025-06-03T02:08:29Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini



Fariz Maulana Akbar Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat (JARAK DEKAT)

TIMURPOS. COM - Pemilu Raya internal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kembali menyita perhatian publik. Disusun sebagai mekanisme partisipatif untuk menentukan arah kepemimpinan dan regenerasi partai, perhelatan ini dikemas dengan gaya terbuka, muda, dan atraktif. Namun, jika kita telaah lebih dalam, proses yang seolah demokratis ini menyimpan berbagai persoalan mendasar, baik secara kritis, etis, maupun pragmatis.


Dalam teori pendidikan politik demokratis, partai politik bukan hanya kendaraan elektoral, tetapi juga sekolah politik. Ia bertugas mendidik kader dan masyarakat untuk memahami proses pengambilan keputusan secara rasional, ideologis, dan deliberatif. Dengan kata lain, partai seharusnya menjadi tempat rakyat belajar demokrasi, bukan sekadar menyaksikannya.


Namun dalam Pemilu Raya PSI, demokrasi lebih tampak sebagai atraksi. Kandidat tampil bukan dengan visi kebijakan yang jelas, melainkan dengan persona yang menarik secara emosional dan visual. Gaya komunikasi PSI di media sosial mengarah ke performa yang estetis dan viral, bukan substansi. Demokrasi dalam partai ini lebih terasa seperti panggung hiburan ketimbang ruang pembelajaran politik.


Konsep dramaturgi politik dari sosiolog Erving Goffman tampaknya cocok menjelaskan situasi ini. PSI membangun “front stage” yang penuh atraksi: jargon, slogan progresif, dan kehadiran figur-figur muda populer. Namun, kita jarang melihat “back stage” berupa konsolidasi ideologis, kaderisasi yang kuat, dan perdebatan substansial antaranggota. Apa yang ditampilkan publik seolah disengaja untuk menciptakan efek dramatis, bukan pembelajaran politik yang utuh.


Fenomena ini semakin menonjol ketika nama mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dimasukkan dalam bursa calon Ketua Umum PSI. Langkah ini menimbulkan kegaduhan sekaligus pertanyaan mendalam: apakah ini strategi cerdas, manuver etis, atau sekadar gimmick politik?


Secara pragmatis, memasukkan nama Jokowi tentu merupakan langkah strategis. Jokowi adalah tokoh populer, memiliki basis massa luas, dan tetap menjadi figur sentral dalam peta politik nasional pasca-pemerintahannya. Dalam konteks PSI yang belum berhasil menembus parlemen dalam dua pemilu, mengasosiasikan diri dengan nama besar seperti Jokowi bisa menjadi pintu darurat untuk menyelamatkan eksistensi partai.


Namun dari sudut etika politik, langkah ini patut dipertanyakan. PSI mengklaim sebagai partai yang mengusung meritokrasi dan regenerasi politik. Mengapa alih-alih memperkuat kader internal, PSI justru menjajakan kursi tertinggi kepada tokoh eksternal yang tidak dibesarkan oleh partai? Ini menimbulkan kesan bahwa partai lebih percaya pada magnet elektoral tokoh besar dibanding kapasitas kader sendiri. Jika demikian, di mana posisi kaderisasi dan konsistensi prinsip?


Lebih dari itu, dari sudut pendidikan politik, kemunculan nama Jokowi dalam kontestasi internal justru mengaburkan proses pembelajaran demokrasi itu sendiri. Alih-alih memperlihatkan bahwa partai dibangun oleh kerja kolektif, publik disuguhi kesan bahwa jalan pintas elektoral bisa dibenarkan asal ada tokoh besar yang bisa dijadikan simbol. Ini membentuk pemahaman yang keliru: bahwa kekuasaan dapat ditentukan oleh popularitas, bukan oleh proses dan rekam jejak.


Jika kemudian nama Jokowi hanya sekadar dicantumkan untuk membangun sensasi dan menarik perhatian, maka langkah ini tak lebih dari gimmick politik. Sebuah langkah kosmetik yang memanfaatkan perhatian publik untuk membangun momentum, tanpa komitmen nyata terhadap proses demokratis internal. Dalam hal ini, PSI terjebak dalam politik panggung yang lebih mementingkan impresi daripada esensi.


Kritik ini bukan berarti menutup peluang inovasi dalam demokrasi internal partai. Format digital, keterlibatan publik secara daring, dan gaya komunikasi baru memang diperlukan agar partai bisa lebih dekat dengan generasi muda. Namun, inovasi tidak boleh mengorbankan esensi. Demokrasi bukan hanya tentang keterbukaan akses, tetapi juga tentang kualitas partisipasi. Demokrasi bukan hanya soal siapa yang ikut memilih, tetapi bagaimana mereka memilih, dan sejauh mana pilihan itu didasarkan pada informasi, perdebatan, dan pertimbangan rasional.


PSI sedang berada di persimpangan jalan: apakah ia akan tetap menjadi partai gaya baru yang setia pada prinsip regenerasi, keterbukaan, dan antikorupsi? Ataukah ia akan berubah menjadi partai oportunis yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan tempat di peta kekuasaan, bahkan jika harus menggadaikan idealismenya sendiri?


Sebagai partai yang pernah menjanjikan harapan politik baru, publik menaruh ekspektasi besar terhadap PSI. Namun harapan itu tidak akan terwujud jika demokrasi terus direduksi menjadi sekadar panggung, dan Pemilu internal hanya menjadi alat pencitraan. Politik bukan teater, dan rakyat bukan penonton pasif. Politik adalah ruang belajar bersama, dan partai adalah tempat pendidikan itu berlangsung.


Sudah saatnya PSI turun dari panggung dan kembali ke ruang kelas demokrasi. Jika tidak, partai ini hanya akan menjadi karikatur dari harapan yang pernah mereka ciptakan sendiri.








Editor : James Wahongan 

Reporter : Alfrets Maurits 



Komentar

Tampilkan

Terkini